BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Minggu, 06 Juni 2010

Natal : Antara Lukisan, Pelukis dan Piguranya
Moral seorang Pelukis alami. la belum kenal teori lukis macam-macam. Lukisannya natural, indah. Hampir semua teman di desanya tertarik pada lukisannya. Pemandangan alam, dunia binatang dan juga manusia dengan berbagai kegiatannya. Orang dapat tenggelam menatap lukisannya. Dayatarik lukisannya penuh misteri, seakan penuh mistik. Berdaya-pikat. Semua bertanya-tanya, apa rahasia mistik di balik lukisannya. Orang bilang: di balik lukisannya yang indah menarik, ada pribadi pelukis yang lebih indah lagi. Itu sumber pesonanya. Lalu Moral pergi ke kota, untuk menimba ilmu, kost dengan seorang pelukis lain. la mulai mengenal ilmu dan teori melukis canggih. Warna-warna berani mulai muncul di goresan kuasnya. Seolah kosmetik tipis melengkapi penampilan seorang gadis. Semakin banyak orang terpukau dan mengoleksi lukisannya. Sejalan dengan itu mistik pribadi pelukisnya semakin dikenal. Sebegitu Jauh, beres. Tetapi kemudian, ia semakin berani mengekspos warna-warni cerah, mengadakan pameran dimana-mana, menggandeng sponsor dan pemodal. Agak sembarangan dalam memilih partner karena hanya melihat kemampuan keuangan. Sanjungan kawan dan pedagang memancing Moral untuk semakin banyak menghasilkan lukisan, menambah frekuensi pameran. Kini lukisannya dibingkai dengan pigura yang mahal-mahal. Lukisannya semakin laris. Namun, orang lebih memburu lukisannya dan tidak peduli pada mistik pribadinya. Ellina kelamaan Moral pun jatuh cinta kepada kesuksesan dan dan harga lukisannya sendiri. Lupa pada jatidirinya.
Agama, khususnya Gereja sering bertindak seperti pelukis ini. Terpukau pada pigura dan harga lukisannya, ‘seperti waktu Natal’, dan hampir lupa pada jatidirinya; sehingga orang malah melupakan agama/Gereja juga.
Sebenarnya, sejak Gereja Perdana, paguyuban murid Yesus Kristus di abad pertama Masehi itu berkumpul karena mereka beriman, bahwa Yesus adalah Tuhan. Iman itu bertumpu pada kepercayaan mereka akan Kebangkitan Sang Tersalib. Maka dari itu, pada awal Gereja (dan secara resmi seterusnya) pesta terbesar umat kristiani adalah Paskah, Hari Kebangkitan Yesus. Itu pula sebabnya mengapa hari minggu dirayakan khusus: hari pertama dalam minggu itu diyakini sebagai hari Kebangkitan Tuhan. Sekarang ini, salah kaprah. Natal menjadi pesta paling populer, tetapi dalam arti paling gemerlapan. Penuh pernak-pernik.

Pernak-pernik Bingkai dan Kosmetik Natal
Apa yang kita bayangkan kalau mendengar bahwa gelandangan Ponirah melahirkan? Pakaian kusut, mata cekung, keringat, bau amis, gubuk gelap dan sempit, atap tiris, popok jorok. Menurut ceritanya, Maria dan Yosef seperti itu. Sekarangpun di sekitar Betlehem dan Yerusalem, radius 10 km dari Hotel David yang berbintang lima, masih banyak gelandangan yang tinggal di gua-gua atau di bawah tenda-tenda dikelilingi domba dan keledai. Yesus diyakini lahir di lingkungan semacam itu. Iman ini yang diperingati orang kristiani tanggal 25 Desember.
Namun apa yang pertama-tama kita bayangkan kalau mendengar kata “Natal”? Pasar Baru yang gemerlap, guntingan kertas emas, pohon terang yang mahal dengan “saljunya” di sana-sini, gua yang penuh cahaya, hadirin yang berpakaian elok, harum dan berkosmetik lengkap. Banyak umat lebih kecewa kalau pada malam Natal koornya sumbang atau lampunya mati daripada kalau belum sempat membersihkan dosa. Banyak yang di dalam ibadat sibuk membandingkan baju baru, daripada mencurahkan perhatian pada bacaan Kitab Suci. Hanya beberapa yang mengajak anak dan dirinya ingat, bahwa di malam Natal mereka mesti menyumbang bagi rakyat terlantar. Dalam suasana seperti itu, kosmetik dan pernik-pernik jauh lebih penting daripada mistik Natal. Dengan iklim seperti itu, tidak usah heran kalau rakyat jelata yang miskin sulit mengambil bagian dalam pesta Natalan, selain sebagai pengumpul pakaian/makanan bekas. Ironisnya, banyak kelompok kristiani yang merasa sudah berbuat banyak dengan mengadakan Aksi Natal berupa kunjungan ke yatim piatu, membagikan bingkisan kepada gelandangan, namun masih tetap membiarkan orang, yatim piatu serta gelandangan itu di luar pintu: belum menjadi salah satu saudaranya. Padahal suasana itu terus menerus diperhebat dengan didirikannya gedung-gedung gereja yang semakin bagus dan semakin gemerlap lantainya, sehingga menakutkan orang miskin untuk bergabung. Gereja semakin tidak asing bagi Kaum Miskin. Dengan demikian tidak mau dicela Aksi Natal manapun: tetapi ada pertanyaan besar tersisa untuk dijawab: “Natal itu penting karena pernak-pernik kosmetik dan bingkainya ataukah karena mistiknya?”

Mistik Natal
Setiap agama memiliki secercah mistik: gema misteri Allah yang mahakuasa dalam jejak-jejak manusiawi. Begitu pula umat kristiani. Pada awal mula mereka itu adalah sekelompok rakyat jelata yang sederhana. Memang ada di antara mereka yang pandai seperti Paulus dan Lukas; tetapi kebanyakan nelayan dan buruh pertanian/ peternakan seperti Simon, Yakobus dan Yohanes. Mereka yakin bahwa dalam Guru mereka, Yesus, berpadulah Yang Ilahi dengan Yang Ihsani. Kebangkitan Yesus dari mati menjadi titik apinya. Tetapi semua itu sulit dipahami rakyat jelata. Maka mereka memakai cara sederhana dalam Kisah Masa Kanak-Kanak Yesus. Kepercayaan akan persatuan Yang Ilahi dan Insani dalam Yesus itu tampil secara jelas dalam Kisah Kelahiran Yesus: unsur ilahi (malaikat, bintang pembimbing) dan unsur insani (gembala, kandang, kemiskinan) sangat menonjol. Isi mistiknya: Yang Mahagung sudi menjadi manusia nestapa untuk berkomunikasi dengan manusia secara manusiawi.
Di Perancis muncul kebiasaan lain: menggambarkan lingkungan ekologis orang beriman dengan pohon cemara, yang pada bulan Desember memang penuh salju. Pohon Natal tertua ditemukan di Strasbourg dari 1605. isi mistiknya: pohon ini mau mengingatkan orang akan pohon firdaus pembawa dosa yang ditebus oleh Yesus. Sayang bahwa gua dan pohon natal sekarang dipenuhi dengan hiasan-hiasan plastik dan lampu warna-warni yang menjauhkan orang dari makna mistiknya karena menipiskan ajakan untuk mengingat dosa, kemiskinan dan derita yang masih menyelimuti dunia. Wajah sejati Natal dirusak kosmetiknya: Orang lebih bergegas mengirim SMS dan kartu. Natal, membeli gua atau memasang pohon natal serta melatih koor natal daripada membersihkan batin. Dengan gaya merayakan Natal semacam itu Gereja terlumpuhkan untuk menjangkau bagian masyarakat yang semula justru menjadi alamat pertama Kabar Gembira (Injil) Kelahiran Yesus, yaitu gembala, rakyat gembel dan lapisan masyarakat termiskin. Maka kosmetik Natal tidak hanya memalsukan mistik Bukan hanya pada lapisan kesadaran pribadi orang, melainkan juga membangun struktur pergaulan, dan pola kegiatan jemaat yang membuat orang kristiani terasing dari lautan orang kebanyakan. Ironisnya, ada orang yang sepanjang tahun jauh dari Gereja, tetapi kembali ke Gereja di Hari Natal, malah karena suasana syahdu Natal. Orang tertarik (kembali) pada Gereja karena kosmetiknya.

Natal Itu Pesta
Memang Natal tetap pesta. Layaklah orang mengungkapkan kegembiraan. Iman memang karunia yang pantas disyukuri secara teraba dan terasa. Maka pestanya Juga dapat dirasakan oleh indera. Tetapi pesta tidak senantiasa harus identik dengan makan dan minum berlimpah serta berdandan mewah, apalagi berdandan dengan kosmetik berlebihan. Kita sering terkesan pada pesta kenangan perkawinan yang dirayakan dengan sekali lagi pergi ke warung, tempat Tono dan Tini itu dulu bertemu pertama kali: kalau bisa malah dengan pakaian yang sama bututnya dengan kali pertama itu, dengan kosmetik sederhana yang sama dengan dulu. Sebab yang penting mistiknya; kosmetik secukupnya saja dan tidak sembarangan. Bisa amat murah. Sayangnya dunia sudah lama berbau konsumeristik mendewa-dewakan konsumsi. Umat Kritiani sering ikut arus: pesta Natal dengan mendewa-dewakan konsumsi. Kosmetik Natal menutupi mistiknya. Mendapatkan suasana, dan memakai kosmetik itu baik. Juga untuk natalan. Tetapi suasana yang pantas diciptakan adalah suasana prihatin karena sekian puluh persen manusia masih menderita. Derita itu kerap merupakan lukisan dosa yang ditebus Yesus sejak kelahiran-Nya. Sudah waktunya salah kaprah seputar Natal diakhiri: mengembalikan wajah sejati Natal sebagai pesta bahwa Tuhan rela hadir dalam kehinaan manusia tanpa kehilangan keagungan-Nya; justru dalam yang sederhana itu Tuhan menunjukkan cinta-Nya kepada manusia yang papa. Itu mistiknya. Wajah Natal senantiasa merupakan pergulatan antara mistik dan kosmetik.
Seluruh umat beragama perlu mewaspadai godaan serupa. Tetap mempertahankan mistik iman dan tidak jatuh dalam godaan kosmetik: mempertahankan inti iman dan tidak mengandalkan kulit agama.
by Mabes TNI AL.

0 comments: