Pembukaan Hutan Belum Bawa Kesejahteraan bagi Warga Kampung
Yang jelas, warga di pedalaman kesulitan mendapatkan makanan dan obat karena hutan dibuka.
Hal ini mengemuka dalam paparan periset Forum Kerja Sama LSM Papua, Jumat (20/11), dalam Kongres Kehutanan I Foker di Jayapura, Papua. Paparan disampaikan tujuh periset yang meneliti wilayah besar adat Papua, yaitu Mamta, Ha Anim, Momberai, Mee Pago, dan Saireri, yang meliputi Kabupaten Merauke, Boven Digul, Mappi, Teluk Bintuni, Teluk Wondama, Manokwari, Nabire, Dogiyai, Biak Numfor, Waropen, Mamberamo, Sarmi, Keerom, dan Jayapura.
Ambrosius Degey, peneliti di Mee Pago atau sekitar Kabupaten Nabire, memaparkan, bagi suku Mee di wilayah adat Sukikai, tanah disebut makikouko nimunetai amai, tanah/hutan adalah ibu yang memelihara warga.
Pemahaman adat ini mulai bergeser ketika masyarakat di kampung melihat bahwa hutan/ tanah bernilai ekonomi. Dampaknya, masyarakat terlibat konflik antarwarga dalam penentuan batas kepemilikan hutan dan kehilangan identitas marga.
Masuknya berbagai perusahaan kayu yang menawarkan iming-iming uang melimpah membuat masyarakat menyerahkan hutannya untuk ditebang. Sayangnya, kata Ambrosius, masyarakat tidak dapat mengelola uang ketika harus mengubah kehidupan tradisional menjadi kehidupan modern yang serba membutuhkan uang.
Pastor Jhon Jonga, peneliti di daerah Mamta atau sekitar Keerom juga mengungkapkan laporan senada. Ia menuturkan, proyek transmigrasi dan kelapa sawit yang masuk ke Keerom tahun 1985-1986 membuat masyarakat asli tergusur dari tanah adat.
Pembukaan kebun kelapa sawit menyebabkan masyarakat kehilangan hutan sagu tempat mencari makanan pokok dan berbagai satwa buruan. Kabupaten Keerom seluas 936.500 hektar memiliki 9.300 hektar perkebunan kelapa sawit, artinya terbesar di Provinsi Papua.
Kekhawatiran terhadap dampak pembukaan hutan untuk kelapa sawit dituturkan periset Jago Bukit yang mengkaji wilayah adat Ha Anim atau Kabupaten Merauke dan sekitarnya. Sebuah perusahaan besar akan membuka kebun kelapa sawit seluas 176.000 hektar di Distrik Edera, Mappi. Di sisi lain, pemilik hak ulayat, suku Auwyu, memiliki pengalaman dengan perkebunan karet sejak zaman Belanda. Pemerintah diharapkan memberi kebebasan warga untuk memilih program yang sesuai.
sumber: kompas
0 comments:
Posting Komentar